Aside

FILOSOFI NAMU

Sebelum menulis ini, yang paling ane fikirkan adalah, apa yang paling pantas. Lalu setelah menimbang sejenak, mungkin begini kali ya.
.
FILOSOFI NAMU
.
Namu itu berasal dari kata tamu. Akar katanya sama dengan bertamu. Mirip mirip dengan bertemu. Berkunjung ke rumah kenalan. Dan menyambung perkawanan.
.
Tamu juga punya diftong yang mirip dengan Jamu. Kamu. Ramu. Panu.
Sama halnya Namu yang berpadanan dengan Nemu. Temu juga berdekatan lafal dengan Tamu. Meskipun begitu, tentu saja arti Nemu Duit yang terwujudkan jauh lebih baik dari susunan kata manapun.
.
Intinya, namu itu ya bertamu. Bertamu itu, ya namu.
.
Hanya saja, agar lebih santai dan menunjukkan keakraban, biasanya kata yang dipakai seorang kawan ketika ngEs.Em.Es sobatnya sebagai pra kunjungan adalah “Bro, mau namu nih”.
.
Alih alih menggunakan kata ‘bertamu’ yang lebih formal dan kelihatan intelek. ‘Namu’ terdengar jauh lebih santai. Orang yang Namu bisa dengan se.asoy.nya ngobrol lepas tapi tetep sopan. Beda dengan orang yang bertamu, yang nggak bisa se.asoy itu, sambil jaim, nahan nahan pengen nggak sopan. Nahan kentut biasanya. Akhirnya karena terlanjur bertamu, kentutnyapun dicicil. Pes, pes, pes, BROTTT !!
Malah kelepasan…
.
Coba kalau tadi tujuannya namu. Kan bisa minjem kamar mandi. Puas puasin sendiri dah disitu.
.
Namun ada satu kesamaan utama dalam namu dan bertamu. Bukan. Bukan hak buang angin yang harus sesegera mungkin di lokalisir dan terejawantahkan. Dalam bertamu, Tuan rumah tabu untuk dicela. Ini tentang etika bung. Adab. In another word it is called by attitude. Sekonyol konyolnya tamu adalah tamu yang nyela tuan rumah.
.
Dalam filosofi namu, kue yang terhidang di toples, dan akua gelas yang teronggok berbaris, boleh diambil dan digunakan sebesar besarnya guna memenuhi hajat dan kerongkongan rakyat. Namun, tamu tidak boleh berebut sedotan akua saat persediaan begitu langka. Atau berteriak teriak tak terima menatap kaget rengginang, rempeyek, dan emping dalam kaleng biskuit.
.
Ada hukum tak berbunyi yang terpatri dalam sanubari tuan rumah yang menghidangkan suguhan. “Makan ! Gitu aja repot !”.
Dan ada jawaban tersirat pada wajah tamu setelah tau nikmatnya jamuan. “Habiskan ! Bilakah esok telah tiada”
.
Pada akhirnya, para tamu dan tuan rumahnya selalu saja menggoreskan kisah yang sama sama membuktikan satu pola sintesa yang berulang sepanjang zaman. Tamu berkunjung dengan menghormati tuan rumah. Dan Tuan rumah menghargai yang datang dan menjamu tamu.
Maka tanpa perlu mendeteksi genjutsu dan mengaktifkan saringgan, atau memanggil hewan ninja dengan jutsu kuciyose sekalipun, telah dapat diketahui dengan gamblang. Tuan rumah adalah pemberi yang mutlak. Dan Tamu adalah penerima yang tau berterima kasih. Begitu mudah terdeteksi. Bahkan tayjutsu dasar saja sudah lebih dari cukup.
.
Maka alangkah primitifnya seorang tamu yang datang ke sebuah rumah lalu dengan konyol menunjuk nunjuk foto keluarga si empunya.
“Ini adalah gambaran teori evolusi Darwin”.
Alih alih dipasangi toga, mungkin pisau dapur dan uleg uleg sambel yang akan dengan sangat cepat tertarik medan gravitasi kepala si tamu.
.
Maka para tamu, berhentilah berlagak ganteng dan pura pura intelek. Janganlah menyamar, pura pura menjadi orang tercerahkan yang sedang membuka wawasan tuan rumah. Padahal tujuannya nggak lebih dari njelek njelekin tuan rumah. Kalau cuma begitu, ibu ibu yang pamer daster kreditan, dan anak alay yang nyombongin behel palsu dua-ribuan itupun sama jagonya dengan kalian.
.
Maka berhentilah nggak jelas. Apalagi tak sebentar waktu bertamu mu bersama tuan rumah. Kau mencela tapi kau bilang “Aku mencela karena cinta”. Bagaimana bila lain kali berdatangan tamu tamu lama yang menimpukimu, menghidangkanmu makrunah dalam ember dengan jebakan tuban riyadoh, lalu meminumi mu es dawet cap salep jarban. Lalu dengan enteng mereka berkata “Kami melakukan ini karena kami mencintaimu”. Bukankah itu sama gilanya dengan kamu ?
.
.
.
Pelajaran terbesar persemar Gontor yang harus selalu diingat
“Santri hanyalah tamu Kyai di pesantrennya”.

Aside

Meminta Ilmu

Ia disebut dengan Tholabul ‘ilmi. Karena mendapatkan ilmu memang harus dengan cara MEMINTA. Meminta kepada siapa ?
.
1. Kepada Allah sebagai Pemilik Penyebab Pemberi dan Penguasa ilmu.
2. Kepada Guru sebagai wasilah, perantara, penyambung, dan pewaris ilmu dari para Nabi
3. Kepada orang tua, meminta doa agar dimudahkan, digampangkan, dijernihkan dalam meminta dan mengamalkan ilmu. Dan bekal benda kalau ada.
.
Ilmu tidak dicari seperti engkau mencari telur, disarang burung, diatas pohon. Ilmu bukan burung liar berterbangan, atau ranting ranting di hutan yang tak bertuan.
.
Ilmu itu ada yang punya.
.
Maka mendapat ilmu harus dengan MEMINTA. Bahkan MENGEMIS. Sebab tanpa ilmu, seganteng gantengnya manusiapun tetap akan jadi serigala. Buas, bodoh, liar, keroyokan, dan tetap saja kalah melawan singa.
.
Maka sanjunglah Yang Memiliki Ilmu. Taatilah pembawa dan penyampainya. Minta doalah pada yang pasti makbul doanya agar dipermudah meminta ilmu.
.
Sudah begitupun, belum tentu pula kita akan diberi ilmu oleh NYA.
.
Namun bila tiap hari kita datang dengan wajah memelas. Rajin mengetuk pintu rumahNYA. Memuji. Menyanjung. Merendahkan diri dihadapanNYA. Kelak dengan pasti. Karena sayang dan adilNYA. PemberianNYA pasti akan sampai pula ke tangan kita.

Ikutan nekat akselerasi

Pas pertama kali nyantri di Gontor, ane ikutan ujian langsung akselerasi kelas 2. Alasannya simpel. Pas ane pindah ane udah SMP setahun. Pinginnya ga ketinggalan lulusnya sama kawan yang diluar (akhir akhirnya tetep aja ketinggalan gara gara ditambah 2 tahun masa ngabdi+nunggu tahun ajaran baru buat kuliah. ah… tapi sebanding dengan semua yang ane dapet ^_^ ).

Di Gontor, tidak ada melanjutkan kelas, semua start dari kelas satu dan satu intensif (untuk yang lulusan SMP sederajat). Yang merasa mampu, boleh ikut ujian akselerasi kelas, sesuai tujuannya. oh iya, batasnya cuma bisa sampai langsung kelas 5 (2 sma sederajat).

Alhamdulillahirobbil’alamin, ane langsung kelas 2 bersama beberapa kawan. Yang ane kenal salah satunya Sobat ane Andi Akbar Hamidi. 🙂 Beliau ini temen dari zaman masa calon pelajar di Gontor2, sampe lulus lulusan kelas 6.

Ane kira, Kelas 2 digontor sama saja dengan kelas 2 SMP diluaran sini. dipikiran sih, tinggal lanjutin aja pelajaran yang dulu, nggak taunya….. ini buku kenapa semuanya bahasa arab ya??? (masih nggak sadar jadi santri hihihi….)

Dan akhirnya, berbekal pelajaran bahasa arab sekolah sore (madrasah diniyyah) yang dasar banget, terpaksa mati matian memahami semua pelajaran itu. Sambil terus terusan kepuyengan melototin pelajaran yang asli baru, otak ini nggak berhenti berhentinya mikir. Ya Allah kenapa ane nekat bener dulu ikutan ujian akselerasi. Terus, kenapa juga ane bisa lulus itu ujian. (Nak itu takdirmu tau) (oh…okeh…) Yang jelas saat itu dengan Bahasa arab “Dhoroba Zaidun ‘Amron” ane mati matian belajar.

Stak. 3 bulan pertama sebagai newbie di Gontor memang baru beneran bisa ngomong bahasa arab. Saking bisanya ngomong bahasa arab kelak pas libur pertengahan tahun balik ke rumah tiba tiba lidah ini menjadi kelu untuk bicara bahasa indonesia. (Babeh sama enyak sampe geleng geleng. Dalam hatinya mungkin bersyukur takjub ‘Ya Allah anak babeh udah ngalah ngalahin onta!’)

Buku dipegang ogah, lah nggak ngerti, nggak dipegang dijewer pak ustadz dan kakak mudabbir (pengurus). Asal tahu aja, buku menjadi kawan wajib dimana mana yang musti dibawa sama anak santri gontor. Kalo nggak pegang siap siap dihukum. Nah loh, milih mana ? Asal aman aja lah. Keputusan akselerasi ini sempat jadi keputusan yang nyaris ane sesali. Udah dikelas anak lama semua (newbie sama anak diatas tahun pertama semuanya beda asrama), Andi temen akselerasi ane nggak sekelas sama ane, ane 2D doi 2G. Ane nyaris meratap dengan wajah memelas memohon kepada pihak KMI (kurikulum) buat balik kelas satu lagi. Tapi ane mikir, ‘Lah bukannya yang pengen kelas 2 ane. Tanggung jawab dong. Jangan plin plan’.

Oke, gue bukan penakut. Ane bakal buktiin, ane pantes lulus akselerasi. (Padahal dikelas aku sungguh menderita….huaaaaa…) Oh iya. Kelak, saat tahun kedua nantinya, ane bakal tau kosa kata yang tepat untuk kata penakut dipesantren ini adalah “Qittun”.

Akhlaq Alqur’an

Akhlaq Alqur’an.

Didalam Alquran itu ada banyak ayat yang menggambarkan betapa kacau balaunya hari kiamat. Termasuk salah satunya yang berada di surah Abasa “Hari dimana setiap orang lari dari saudaranya, dan ibu juga bapaknya, dan istri juga anak anaknya”. Dan yang ada di surah Al Ma’aarij “Hari dimana para pendosa lebih suka mengorbankan anak anaknya, agar ia selamat dari azab hari itu. juga istri dan saudara saudaranya. juga kawan kawan dekatnya. bahkan (jika bisa) seluruh yang ada di bumi, lalu dia selamat sendiri”

yang menarik, meskipun sama sama menggambarkan sikap ‘selamet dewek bae’, Namun disurah Alma’arij tidak disebutkan “mengorbankan kedua orang tua” agar selamat dari azab. namun diganti dengan “seluruh dunia”.

Padahal efeknya lebih dramatis. Namun begitulah. Didalam Alquran yang terdapat ayat yang mengajarkan akhlaq bermuamalah terhadap kedua orang tua, tidak mungkin ada kontradiksi, bahkan hingga ke level interpretasi hiperbola tentang penggambaran chaos hari kiamat sekalipun tidak ditolerir.

Begitulah akhlaq Alquran. Sempurna.

“Wa maa huwa illa dzikrullil ‘aalamiin”

Amar Ma’ruf itu sepasang dengan Nahy Munkar

Amar ma’ruf dan Nahy munkar itu satu paket.

Amar Ma’ruf mesti punya kesan santun yang kuat.
Sedangkan Nahy munkar harus tegas, kokoh dan substansial.

Amar ma’ruf, karena santunnya, jauh lebih mudah dan sopan. Lebih manusiawi dan toleran. Banyak diantara Cerdik cendikia kita, yang mengambil peran ini. Banyak sekali malah. Amar ma’ruf inilah yang sering “diplesetkan” hamba liberalisme dan diunyer unyer dalilnya untuk topeng toleransi bablas.

Sedangkan Nahy munkar, adalah tindak tegas, penertiban, dan pemberantasan maksiat. Nahy munkar ini peran yang tidak semua muslim mau mengambilnya, padahal harus. Dan tidak semua Cerdik cendikia mau terang terangan, padahal wajib. Lihat saja FPI yang Nahy munkarnya kuat sekali. Cela, caci, maki, selalu menyudutkan mereka. Padahal mereka benar. Sangat benar.

Karena Amar ma’ruf dan Nahy munkar adalah sepasang.

Ibarat sepatu, mana ada sepatu yang cuma sebelah. Dan Ibarat Tangan, Tangan yang tidak cacat adalah tangan yang berfungsi keduanya.

Karena keduanya adalah representasi cinta ilahi. Amar ma’ruf adalah mengelus dengan lembut jiwa yang gamang. Dan Nahy munkar ialah menarik kuat kuat jiwa yang nyaris masuk ke jurang. Menukar pola keduanya hanya akan berakibat hancur dan binasa.